Jepang adalah sebuah bangsa dengan salah satu reputasi kuliner paling tinggi di dunia. Inilah negara yang menganggap serius kerajinan dalam bentuk apapun, dan memiliki mata yang begitu tajam terhadap detail, di mana kesempurnaan adalah kunci dan tidak boleh kurang dari itu.

Keinginan kuat dan konstan untuk menghasilkan yang terbaik menjadikan Jepang sebuah negara dengan angka restoran Michelin tertinggi di dunia, dan industri pariwisata jelas mengandalkan penjelajahan kuliner. Daging sapi Hida adalah bentuk sentimen Jepang, sebuah kuliner yang diciptakan melalui pertimbangan yang sangat dalam, dipersiapkan dengan begitu teliti dan disajikan dengan gaya yang sangat terkurasi.

Daging sapi Hida, dengan teksturnya yang kaya dan marbling, warna merah yang merona, aroma lembut dan rasa yang dinamis merupakan bagian dari keluarga daging sapi wagyu yang prestisius. Meski ada banyak tempat di belahan utara Gifu untuk menikmati daging ini, Takayama – yang kadang juga dikenal sebagai Hida Takayama – adalah salah satu destinasi penting untuk menikmati daging sapi Hida. 

Mulai dari jalan-jalan yang dipenuhi perumahan bersejarah yang dirawat dengan teliti, pemandangan alam yang memukau, inovasi kuliner, dan populasi dengan hasrat menyajikan kesempurnaan di tiap hal yang mereka lakukan, kota yang sederhana dalam segi ukuran ini terbilang raksasa dari segi budaya, sebagian besar karena ekspor daging sapi Hida-nya yang patut diacungi jempol.

Menjadi tempat yang populer bagi pengunjung domestik dan internasional, Takayama memulai usahanya untuk menarik perhatian sebagai destinasi internasional pada tahun 1986. Namun, beberapa tahun sebelumnya, sebagai bentuk dorongan pariwisata Takayama, sekitar tahun 1981-1982, sebuah kejadian yang membuat kota itu terkenal terjadi: datangnya seekor sapi jantan bernama Yasufuku. Dibawa dari Prefektur Hyogo, makhluk agung ini merupakan bapak dari daging sapi Hida. Sepanjang karirnya, Yasufuku telah menjadi bapak dari 40,000 bayi, menjadikan area ini sebagai tempat yang terkenal akan wagyu

Selagi saya menikmati stan-stan makanan yang berbaris di jalan bersejarahnya, mulai dari sushi daging sapi Hida, hingga burger dan kroket sapi, juga sate steak sapi, saya menyadari bahwa Takayama merupakan sebuah kota yang amat bangga akan produk daging sapinya — dan itu memang sudah seharusnya. Mengembangkan status ‘wagyu’ di komunitas kuliner tidaklah mudah. Hanya ada sebagian gaya wagyu premium di Jepang, dan daging sapi Hida adalah salah satu daging wagyu tingkat atas seperti daging sapi Kobe dan daging sapi Matsusaka di Prefektur Mie.

Kini, wagyu berasal dari peranakan sapi domestik yang secara selektif dibiakkan dengan jenis sapi Barat pada awal abad ke-20 untuk menghasilkan daging sapi terbaik. Meski tampak mengejutkan bahwa sebuah negara yang aslinya tidak berfokus pada sapi tapi kini justru memiliki salah satu jenis daging berkualitas di dunia, kerajinan dan dedikasi untuk menghasilkan kesempurnaan semacam itu sudah jelas berbuah dari sifat khas masyarakat Jepang.

Memproduksi wagyu merupakan sebuah kombinasi sejarah, seni, dan sains, yang membuat kuliner ini terasa begitu spesial. Tidak seperti hewan ternak lain di negara ini, sapi-sapi untuk daging wagyu dibiakkan dengan satu tujuan di benak – rasa yang tiada tandingnya.

Daging sapi Hida biasanya dianugerahi dengan tekstur mengkilap yang dikenal dengan istilah marbling, begitu kaya dan membaur dengan sempurna hingga dari jauh warna merah mentahnya tampak seperti warna merah muda lembut yang identik dengan bunga sakura.

Untuk bisa mencapai level kemewahan seperti ini, sapi ternak wagyu yang gemuk biasa dibiakkan hingga berumur 30 bulan ke atas. Waktunya lebih lama dari daging sapi biasa, yang mana standarnya (seperti kebanyakan daging sapi khas Amerika Serikat) berusia sekitar 22 bulan.

Hidup sapi-sapi yang akan dikembangkan menjadi wagyu Hida sangatlah mewah. Mereka hidup untuk makan, minum air jernih dari sungai-sungai yang airnya turun langsung dari pegunungan, harus menikmati udara pedesaan, dan berbagai hal-hal yang memanjakan lainnya. Inilah yang membuat dagingnya menjadi berkilauan.

Kalau kerajinan adalah sesuatu yang secara permanen identik dengan Jepang, maka inovasi adalah sesuatu yang secara permanen identik dengan kualitas Takayama. Contoh sempurna yang bisa diambil adalah sebuah kedai burger lokal yang meski tampak sederhana, ternyata menyajikan hamburger terbaik yang pernah saya coba di Jepang.

Pada tahun 2014 TripAdvisor, salah satu nama terbesar dalam industri pariwisata, mengeluarkan sebuah daftar restoran Jepang paling populer berdasarkan pilihan tamu asing. Restoran kedua paling populer bukanlah kedai sushi mewah di Tokyo atau bahkan restoran dengan pengalaman kaiseki di Kyoto — tempat itu adalah restoran retro-Americana sederhana yang tersembunyi di belakang sebuah toko yang sederhana pula di kota Takayama! 

Meski popularitasnya tampak misterius karena ada banyak jenis kuliner luar biasa lain yang tersedia di Jepang, setelah Anda mencoba burgernya yang juicy, dengan daging sapi Hida kualitas tinggi, Anda pasti langsung akan merasakan sendiri kenapa tempat ini begitu populer.

Meski tentu saja bisa memesan burger daging sapi Hida, saya memesan burger alpukat berisi alpukat yang ketebalannya pas, selada garing yang segar, dan daging sapi sebesar kepalan tangan yang berlumuran saus. Kombinasi ini membuat saya mengapresiasi kenikmatannya yang sederhana; sebuah seni yang akhir-akhir ini tidak ditemukan dari sebuah burger.

Setelah seharian menelusuri jalan-jalan dan menjelajah pemandangan, suara, dan aroma kota Takayama, kami mengunjungi area Okuhida. Pedesaan tenang ini bertaburkan salju dan tersembunyi di antara puncak-puncak Alpen Jepang seperti sebuah pelarian pemandian air panas yang terawat – dan sangat tersembunyi. Berlokasi di atas mata air panas termal, kami menetap di sebuah ryokan tradisional yang tersembunyi di balik tebalnya salju.

Di dalam ryokan luas yang terdiri dari beberapa lantai ini, terdapat sebuah taman khas Jepang di bagian tengahnya. Bagai sebuah hiasan tengah rumah dengan selimut salju, taman ini menyajikan kecantikan alam yang sangat mulus; pada pagi hari, saljunya menghilang dan yang tersisa adalah sebuah sudut hijau, serta perwujudan dari cita rasa estetis Jepang.

Saya lalu bergerak ke ruang makannya yang besar dan elegan, dengan lantai tatami dan pintu-pintu geser. Satu-satunya hal yang terkesan sangat mewah dan mengagumkan dari tempat ini, sebagaimana yang saya ketahui belakangan, adalah makanan yang tengah menunggu kami di sana. Di menu ryokan-nya, makan malam bergaya kaiseki kami terdiri dari seri gabungan beberapa menu khas Gifu, mulai dari sushi sapi hingga shabu-shabu, steak, dan sayuran setempat serta ayam dengan miso Gifu.

Daging sapi Hida berwarna merah muda yang dipotong dengan sangat sempurna mendesis di atas piringan panas, mengeluarkan aroma yang sangat dinanti-nantikan. Butiran-butiran lemak bermunculan di permukaan, menambah cita rasa bumbu selagi daging-daging perlahan berubah menjadi steak kecoklatan. Shabu-shabu adalah salah satu kuliner ikonis Jepang di mana daging sapi dipotong tipis dan disajikan di dalam panci bersama sayuran, lalu dimasak dengan air mendidih dan dicelupkan di dalam saus wijen atau saus ponzu. Meski mencelupkan daging dan sayuran ke dalam saus adalah cara sempurna untuk menikmati kuliner lokal itu, daging sapi Hida tampak sangat menggugah selera hingga saya tertarik untuk mencobanya langsung tanpa saus.

Yang membuat daging sapi Hida begitu menggugah selera, di samping tentu saja rasa premiumnya yang meleleh di mulut, adalah berbagai cara yang tersedia untuk menyajikannya. Salah satu yang paling mengejutkan adalah dengan gaya nigiri sushi. Ini adalah gaya di mana daging yang sudah sedikit dibakar diletakkan di atas gulungan nasi. Kombinasi tekstur dari daging sapinya terasa sangat berbeda dari variasi daging sapi lain. Nasi lembut dan saus gurih membuat rasanya jadi semakin selaras, menciptakan sebuah perpaduan rasa yang unik.

Setelah menyelesaikan makan malam di ryokan di Okuhida, kenyang dengan banyaknya variasi Hida yang mungkin bisa membuat saya puas selamanya, saya melangkah menuju pemandian air panas terbuka untuk memanjakan diri di bawah langit malam yang sedikit bersalju.

Keesokan harinya, saya bergegas ke Pasar Pagi Takayama yang begitu hidup, suasana yang selalu sama setiap hari dalam satu minggu. Sebagai salah satu pasar pagi terbesar di Jepang, tempat ini memiliki dua lokasi utama: di depan Takayama Jinya, dan di sepanjang Sungai Miyagawa.

Hari kami dibuka dengan momen jalan kaki di sepanjang Sungai Miyagawa, yang riak airnya seolah-olah membuat suasana menjadi semakin dingin. Cuaca yang sebenarnya tidak bersahabat itu ternyata tidak menganggu kehidupan pasar dan keramahan para pedagang yang menjajakan dagangan mereka dari pagi hingga petang. 

“Pasar ini buka sesering dan sebisa mungkin,” jelas salah satu pedagang setempat yang stannya berisi sayuran segar seperti bawang dan lobak, berlokasi tepat di pintu masuk pasar. Barang lokal lainnya yang harus dicari di pasar ini adalah ‘korokke’, kroket yang terbuat dari daging sapi Hida, perpaduan cita rasa lokal dan internasional.

Meski banyak dikunjungi turis, para pembeli utama di sini “sebagian besar adalah pemilik restoran dan penduduk setempat yang ingin membeli sayur,” jelasnya. Hasrat untuk menjual dan membeli produk setempat menunjukkan bahwa orang-orang dari area sekitar sini dapat menjaga bisnis agar tetap hidup tanpa harus berkompetisi dengan supermarket raksasa dan sejenisnya. Inilah simbol harapan di tengah masa di mana kenyamanan seringkali menjadi penentu orang-orang dalam mengambil keputusan. “Saya sudah berjualan di sini selama 40 tahu,” lanjut sang pedagang, “lokasi pasar ini pun sudah berubah-ubah dari waktu ke waktu,” namun untungnya tak banyak lagi yang berubah.

Berlokasi di kaki jembatan merah Takayama’s yang terkenal, yang melintang di atas Sungai Miya, terdapat sebuah ryotei (restoran tradisional kelas atas) yang dibangun pada tahun 1794. Tempat ini telah lama menjadi ikon setempat, menyajikan kuliner tradisional menggunakan bahan-bahan dari gunung dan sungai selama lebih dari dua abad. Meski demikian, mengikuti standar yang telah diadopsi oleh bagian lain di kota, ryotei yang boleh jadi sebenarnya traditional ini ternyata sudah berevolusi karena kini juga menawarkan pilihan kuliner berbahan dasar daging sapi Hida.

Tenang dan minimalis, namun tak diragukan lagi merupakan salah satu restoran paling elegan yang pernah saya nikmati. Yang membuat saya paling terkejut adalah klaim sang restoran mengenai filosofi mereka, yakni “untuk tidak terus mengikuti peraturan, tapi untuk merubah beberapa di antaranya agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat modern.” Tak disangka saya bisa menemukan filosofi seperti ini di sebuah tempat yang kaya akan tradisi. Tapi menurut saya pernyataan ini sangat menarik, sehingga saya memutuskan untuk bertanya kenapa filosofi ini menjadi sangat penting dan bagaimana cara mereka melaksanakannya.

“Contoh perubahan yang terjadi seiring berjalannya waktu,” jelas sang pemilik ryotei, “adalah dengan menyajikan makanan yang terbuat dari ikan sungai, seperti ayu, dan sayuran pegunungan, serupa dengan shojin ryori,” yang merupakan sebuah tipe kuliner Buddha klasik. “Namun,” ia melanjutkan, “dikombinasikan juga dengan daging sapi Hida, karena produk itu dianggap sebagai merek khas area ini.”

Contoh lainnya adalah penggunaan sajian tangkapan laut dari wilayah tetangga. “Karena berpindah dari Toyama dan Gifu atau sebaliknya sudah sangat mudah, kami sekarang bisa mendapatkan lebih banyak seafood segar, dan itulah satu lagi bukti perubahan kami,” kata sang pemilik ryotei.

Selagi mempertahankan tradisi, restoran ini juga beradaptasi dengan perubahan waktu. Relevan dan menarik untuk tamu internasional, tentunya, namun lebih dari itu, inilah contoh dari sejarah modern sang kota. Makanan identik dengan kisah budaya, dan berbagi budaya sama dengan mengisi perut dengan makanan, yang tentu saja, disisipkan dengan daging sapi Hida di dalam menunya. Restoran ini pun jadi turut menguatkan sejarah kontemporer dari sang kota.

Kunjungan saya ke restoran ini merupakan cara yang sempurna untuk melengkapi petualangan saya menjelajah nikmatnya daging sapi Hida di Takayama. Ini adalah rasa dari bagaimana semuanya bekerja di masa lalu, namun dibumbui dengan cita rasa masa kini dan diselimuti dengan hasrat menyambut masa depan. 

Penjelajahan saya akan lanskap dan konteks daging sapi Hida merupakan pengalaman yang sangat membuka mata. Di tengah kondisi masa kini, di mana semuanya serba cepat dan instan, ada banyak yang bisa dipelajari dari bagaimana cara kota ini memperlakukan kuliner khas mereka yang sangat populer.

Menikmati daging sapi Hida bisa jadi bagian dari analogi untuk menikmati budaya Jepang. Keduanya sangat kaya, dinamis, dipertimbangkan dengan sangat teliti, terinspirasi dari lingkungan sekitar, dan terpengaruh oleh sejarah selagi semuanya berkembang pula mengikuti perubahan zaman. 

Kalau Anda punya kesempatan untuk berkunjung ke Gifu dan mencoba daging sapi Hida, Anda benar-benar harus melakukannya. Ini merupakan sebuah sajian yang menanti untuk dijelajah oleh siapapun yang memang bisa mengunjungi sesuatu di luar kebiasaan turis pada umumnya.